jongbintoro

URGENSI BAHASA ASING DI PESANTREN

In Uncategorized on April 16, 2009 at 5:12 am

URGENSI PENGEMBANGAN BAHASA ASING DI PESANTREN
Oleh: A. Dimyati
Makalah dipresentasikan pada acara Stadium General & Classroom Language; “Urgensi bahasa Inggris dan Metodologi pengajarannya di Sekolah Islam dan Pesantren”, Ahad, 19 April 2009 di Aula Pesantren Maslakul Huda, Kajen Margoyoso Pati jawa Tengah.

Pendahuluan
Secara terminologis bahasa didefinisikan sebagai suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.
Dari definisi di atas dapat ditangkap sebuah pemahaman bahwa bahasa memegang peranan sangat vital dalam kehidupan sosial manusia. Para ahli memetakan fungsi bahasa dalam kehidupan bermasyarakat menjadi beberapa point, yaitu:
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia (bersosialisasi).
3. Alat untuk mengidentifikasi (aktualisasi) diri.
4. Alat rekayasa sosial
Sekalipun hampir semua mengetahui arti penting penguasaan bahasa asing, akan tetapi kesadaran untuk mempelajarinya tidak selalu berjalan secara linear. Kondisi serupa ditemukan pada lembaga pesantren, terutama yang diidentifikasi sebagai pesantren tradisional. Ada beberapa sebab mengapa bahasa asing (selain bahasa Arab) kurang mendapat perhatian di kalangan komunitas pesantren. Pertama, terdapat kendala psikologis berupa ketakutan untuk mempelajarinya. Selama ini ketika orang berbicara tentang bahasa Inggris misalnya, yang muncul dalam anggapan kemudian adalah bahwa bahasa tersebut sangat sulit untuk dipelajari. Kedua, terdapat kendala budaya dalam arti bahwa mempelajari bahasa asing di pesantren dianggap bukan sebuah kelaziman. Ketiga, minimnya akses terhadap pemahaman tentang bahasa asing itu sendiri. Keempat, kurangnya sumber daya manusia yang memadai untuk mengembangkan bahasa asing. Keempat, sebuah faktor yang sangat mendasar adalah adanya bias-bias ideologis dimana bahasa dipahami sebagai bagian dari agama tertentu. Misalnya bahasa Arab dianggap sebagai bahasa Islam, bahasa Inggris sebagai bahasa orang Kristen, bahasa Cina sebagai representasi bahasa agama Konghucu dan sebagainya.

Bahasa Asing dan Pesantren
Selama ini di masyarakat terdapat pandangan yang ambigu terhadap pesantren. Satu sisi pesantren identik dengan ”ketradisionalan” dalam arti yang negatif (tertinggal, kolot dan sebagainya), namun sebagian kalangan yang lain memandang bahwa pesantren adalah sebuah entitas tersendiri dengan ciri khasnya yang tidak dimiliki institusi lain, termasuk di dalamnya sistem pendidikan yang dijalankan. Kontradiksi seperti itulah yang pada gilirannya justru menjadi daya magnit pesantren yang dapat memikat berbagai kalangan untuk menyelaminya lebih jauh dengan mengadakan penelitian-penelitian ilmiah.
Terkait dengan bahasa asing, sejatinya sistem pendidikan pesantren telah memiliki akar yang cukup kuat. Penguasaan bahasa asing (khususnya bahasa Arab) menjadi salah satu ciri khas bahkan tolok ukur bagi tingkat keberhasilan pembelajaran yang dijalankan. Hal ini dengan mudah dapat diketahui dari literatur-literatur yang diajarkan dimana literatur berbahasa Arab sangat dominan. Selain itu ilmu-ilmu kebahasaan (nahwu, sharaf, balaghah) juga diajarkan secara sistematis pada semua level. Sayangnya bahwa pemahaman tentang bahasa asing sejauh ini hanya dibatasi oleh ”bahasa Arab”. Sebagaimana disebutkan di atas, hal itu tidak lepas dari pandangan umum di kalangan pesantren yang menganggap bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa yang dapat diterima karena merupakan bahasa ”agama”.
Lebih jauh, anggapan demikian muncul sebagai akibat dari sistem pendidikan yang sudah mengakar dan menyejarah di pesantren sebagai bagian dari dakwah islamiyah. Menurut Muhammad Yunus, sejak semula keberadaan pesantren memang mengemban misi utama dalam penyebaran dan pengajaran ilmu-ilmu agama dari tingkat dasar sampai tingkat tertinggi.

Sistem Pendidikan Islam di Pesantren
(Periode Sultan Agung)

Pesantren Takhassus: dengan spesifikasi pengetahuan keislaman dan tarekat. Mampelajari pelajaran khusus secara mendalam serta belajar tarekat tertentu khususnya Qadariyah, Naqsyabandiyah dan Syatiriyah.
(Tingkat Tertinggi)

Pesantren Besar dan Umum: mempelajari fiqh, tafsir, hadis, astronomi (falak), tata bahasa Arab dan tasawuf.
(Tingkat Tinggi)

Pesantren Daerah dengan Kitab-kitab Elementer: mempelajari kitab-kitab fiqh dengan penekanan pada mazhab syarfi’i seperti Fathul Qarib, dasar-dasar akhlaq seperti Bidayatul Hidayah.
(Tingkat Menengah)

Kelas-kelas al-Qur’an bagi anak-anak usia 7 tahun ke atas. Tujuannya membekali para santri dengan kemampuan membaca al-Qur’an
(Tingkat Dasar)

Sumber: Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 226-227

Perlakuan istimewa terhadap bahasa Arab pada gilirannya membuat sekat-sekat bagi kemungkinan memasukkan bahasa asing lain untuk dipelajari di pesantren. Jika demikian halnya, maka hal yang paling mendasar untuk dilakukan sebelum mengajarkan bahasa asing, khsususnya bahasa Inggris di pesantren adalah merubah cara pandang terhadapnya dan menyadarkan pentingnya penguasaan bahasa Inggris di pesantren, terutama di era global ini.

Bagaimana memulai?
Setelah merubah cara pandang dan penyadaran akan arti penting bahasa Inggris bagi pesantre, masih ada beberapa langkah yang mesti dilakukan, yaitu mapping, analyzing, planning, doing dan evaluating.
Mapping atau pemetaan persoalan adalah langkah-langkah identifikasi awal apa saja persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pesantren selama ini khususnya yang terkait dengan pengajaran bahasa Inggris. Juga memetakan kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi jika ingin mengembangkan bahasa Inggris dan aspek-aspek terkait.
Setelah dilakukan mapping, langkah penting selanjutnya adalah melakukan analisis (analyzing), sejauhmana kemungkinan, peluang, tantangan yang dapat diperkirakan. Salah satu model analisis yang lazim digunakan untuk mengetahui peluang dan tantangan tersebut adalah model SWOT Analysis yang dikembangkan oleh Albert Humphrey .

Dalam gambar di atas ada empat unsur yang harus diperhatikan dalam melakukan analisis, yaitu unsur strengths (kelebihan, kekuatan), weaknesses (kelemahan-kelemahan), opportunities (peluang-peluang) dan threats (tantangan-tangangan).
Dalam konteks analisis terhadap kemungkinan pengajaran bahasa Inggris di pesantren, maka model analisis tersebut dapat diterapkan sebagai berikut:

Strengths:
– Terbiasa dengan kajian bahasa asing, khususnya bahasa Arab
– Sistem pendidikan yang menunjang (model boarding)
– Kepemiminan
– Networking dengan luar negeri

Weaknesses:
– Pandangan minor terhadap bahasa inggris
– Bias-bias ideology
– Minimnya fasilitas
– Minimnya SDM

Opportunities:
– Pesantren telah diakui eksistensinya sebagai bagian dari sisdiknas
– Dibukanya lembaga-lembaga formal; m’had ali, takhassus, lembaga bahasa asing
– Beasiswa Studi lanjutan ke berbagai Negara
– Program-program pertukaran mahasiswa/ pesantren

Berdasarkan analisis di atas, dapat diketahui bahwa peluang pengajaran dan pengembangan bahasa Inggris di pesantren sangat terbuka. Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah adanya itikad baik (good will) dari para penentu kebijakan pesantren untuk memprakarsai lahirnya lembaga-lembaga pendidkan bahasa asing (Inggris) yang dikelola oleh pesantren masing-masing.

Tentang Metode Pembelajaran
Sebagaiamana dikemukakan sebelumnya, salah satu kendala bagi upaya pengembangan bahasa Inggris di pesantren adalah adanya anggapan bahwa bahasa Inggris itu sulit. Anggapan tersebut tidak dapat dikesmpingkan begitu saja, sebab kenyataannya justru berangkat dari sekedar anggapan seperti itulah yang justru menjadi faktor utama mengapa bahasa Inggris tidak pernah berkembang dengan baik di lembaga-lembaga pendidikan (tidak hanya pesantren).
Salah satu cara yang disarankan oleh para praktisi pengajar bahasa Inggris untuk menghilangkan anggapan seperti itu adalah dengan mengenalkan dan mengajarkan bahasa Inggris dengan metode yang tepat. Sejauh ini sudah banyak metode yang dikenal, seperti metode pengajaran bahasa untuk bahasa, metode psikolearning, metode interaksi sosial dan sebagainya. (Di sini hanya akan diuraikan sedikit beberapa metode tersebut). Ppemiihan metode yang tepat, selain dapat menghilangkan kesan sulit terhadap bahasa Inggris juga dapat membantu mempercepat dalam penguasaan.

Psikolearning
Secara sederhana barangkali psikolearning dapat dipahami sebagai metode peembelajaran yang menggunakan pendekatan dengan menyesuaikan kondisi psikologis peserta didik. Dalam perspektif psikologi kondisi seseorang dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: auditory, visual dan kinesthetic.
Auditory adalah kondisi seseorang dimana dalam perilakunya lebih banyak menggunakan unsur pendengarannya. Orang seperti ini biasanya lebih nyaman jika mendengarkan music yang bagus, lagu yang dapat menggugah semangat dan sebagainya. Lebih mudahnya orang yang tertarik pada keindahan suara. Metode pembelajaran yang tepat untuk orang dalam kategori ini adalah auditory learning, yaitu cara mudah belajar dengan medengarkan. Cara ini bisa ditunjang dengan banyak mendengarkan lagu-lagu favorit, berita, pidato, menyimak lebih banyak percakapan dalam bahasa asing. Dengan unkapan dan ucapan yang digunakan, perhatikan konteks ataupun situasi di mana kata-kata tersebut digunakan. Lalu, lakukan hal ini berulang-ulang, maka kita akan bertemu dengan ungkapan serupa, yang dapat kita latih secara berkala sehingga kita lebih mahir mengucapkan dan menggunakannya.
Visual adalah orang yang dalam perilakunya lebih menonjolkan aspek pandangan matanya. Orang jenis jni akan tertarik pada sesuatu yang sifatnya enak ditonton atau dilihat. Bagi orang yang termasuk dalam kategori ini, metode pembelajaran yang tepat adalah visual learing, yaitu belajar melalui input visual, seperti gambar dan tulisan. Banyak cara bisa diterapkan menurut gaya belajar ini, misalnya mambaca artikel-artikel yang menarik dalam bahasa Asing, atau membaca tulisan-tulisan yang dianggap penting di koran, internet, atau majalah. Bisa juga menulis contoh surat, proposal, dan brosur. Untuk memahaminya, kita bisa menceritakannya kembali dengan kata-kata yang kita susun sendiri, baik dalam bentuk tulisan ataupun ucapan. Bisa juga kita menggambarkannya dalam bentuk visual flow chart, table, atau bentuk visual lainnya.
Sedangkan kinestethic adalah orang yang dalam perilakunya lebih mengedepankaan sisi gerak tubuhnya. Orang yang dianggap termasuk dalam kategori ini sebaiknya diajarkan bahasa dengan metode kinesthetic learning, yaitu cara belajar yang lebih cocok dengan menggunakan gerak, misalnya dengan menulis (menggerakkan tangan untuk menulis ), atau mencoba memahami sebuah kata/ungkapan dengan membayangkan gerakan, yang biasa diasosiasikan dengan arti kata-kata tersebut. Biasanya, cara belajar seperti ini memerlukan alat bantu, seperti komputer atau alat peraga lainnya.

Metode Komunikstif
Pembelajaran bahasa Inggris dengan menggunakan pendekatan komunikatif (komunikative Annäherung) dapat memotivasi pembelajar, apabila langkah-langkah yang ditempuh dapat dijadikan wadah bagi para pembelajar untuk mempraktekkan bahasa yang dipelajari misalnya, berdialog/berinteraksi dalam kelompok-kelompok kecil dengan memanfaatkan materi yang tersedia dalam buku teks maupun dari sumber yang lain.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa Inggris yang komunikatif perlu adanya perubahan didaktik metodik yang mengarah kepada interaksi sosial serta mengajak pembelajar untuk terlibat dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar seperti di atas lebih mengarah kepada CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif).
T. Raka Joni (1984 : 17) mengemukan bahwa proses belajar mengajar yang mengarah kepada CBSA memiliki indikator sebagai berikut:
Pertama, sejauhmana siswa berani memprakarsai untuk mengambil inisiatif tanpa secara eksplisit diminta oleh guru, misalnya dalam menentukan langkah-langkah belajar, mencari sumber bacaan dan lain-lain.
Kedua, sejauhmana siswa melibatkan diri secara mental dalam kegiatan belajar yang sedang berlangsung.
Ketiga, sejauhmana guru dapat merubah kedudukannya dari seorang yang memimpin dan mengatur segalanya menjadi seorang pendamping (fasilitator) yang siap membantu siswa , sejauh itu dibutuhkan.
Keempat, sejauhmana siswa dapat belajar langsung lewat pengalamannya dalam proses belajar mengajar.
Kelima, sejauhmana bentuk dan alat kegiatan belajar mngajar bervariasi.
Keenam, sejauhmana tingkat kualias interaksi antara siswa, baik intelektual maupun emosional.
Keenam indikator diatas dapat dijadikan sebagai acuan untuk menciptakan interaksi sosial dalam pembelajaran bahasa Inggris. Sehingga tercipta proses belajar-mengajar yang efektif dan efisien sesuai dengan harapan pengajar dan pembelajar.

Metode 9 Prinsip Pembelajaran
Yaitu sembilan prinsip dalam pembelajaran yang dirancang agar pembelajaran yang dilaksanakan dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah dicanangkan. Kesembilan prinsip tersebut adalah:
Pertama, guru berperan sebagai sutradara. Dalam hal ini sebaiknya guru berperan sebagai sutradara dan penulis skenario, dalam arti guru merencanakan adegan-adegan dan menentukan urutannya sementara para siswa bertindak sebagai pemerannya, sehingga pembelajar lebih banyak beraktivitas dan berinteraksi antar mereka. Skenario adalah rencana kegiatan belajar – mengajar (Unterrichtsvorbereitung) yang di bagi-bagi atas fase-fase (Unterrichtsfasen).
Kedua, pergantian fase perlu sekali dilakukan. Langkah ini perlu dilakukan mengingat pada umumnya kemampuan manusia untuk berkonsentrasi penuh atas suatu fenomena hanyalah kurang lebih dua puluh menit. Tentunya tidak mudah untuk mengalihkan kebiasaan mengajar Lehrerzentriert (berpusat pada guru) menjadi Lehnerzentriet (berpusat pada siswa).
Metode ini menuntut beberapa hal dari siswa, misalnya spontanitas, aktivitas, keberanian menanggung resiko serta tanggung jawab. Meskipun begitu hendaknya para pengajar tidak berputus asa untuk dengan sabar mencoba membiasakan pembelajar berperan aktif dalam proses belajar mengajar. Para pembelajar perlu diajak untuk menemukan sendiri jawaban/keterangan yang mereka butuhkan (inductive methode). Hal ini akan menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi mereka, sehingga semakin termotivasi.
Untuk menunjang pergantian fase, para pengajar dapat menerapkan berbagai bentuk latihan (Ubungformen) termasuk juga cara mengerjakannya (Arbeitsformen) antara Einzelarbeit, Patnerarbeit, Gruppenarbeit, Plenumsarbeit dan Frontalunterricht. (Erna, 1992 :23)
Ketiga, Guru menerangkan hanya hal-hal yang penting untuk diterangkan. Biasanya pembelajar akan berbicra atau belajar untuk berbicara kalau pengajar sedang tidak berbicara. Jadi guru perlu berusaha menahan diri, menerangkan seperlunya saja dan memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih banyak berperan aktif. Hanya hal-hal yang mutlak perlu saja yang harus diterangkan. Soal yang tersusun baik dan jelas tujuannya akan mudah dipahami hanya jika siswa bertanya dan minta penjelasan atas soal tearsebut, barulah guru menerangkannya. Memberi waktu kepada pembelajar untuk berfikir, akan dapat lebih berarti daripada aktivitas bicara tanpa henti, karena di sinipun terdapat aktivitas yakni di kepala para pembelajar.
Keempat, guru seharusnya mentolerir kesalahan. Mentolerir kesalahan bukan berarti pengajar mendiamkan saja kesalahan yang dibuat oleh pembelajar, melainkan membicarakan dan mengoreksinya sesuai dengan tujuan latihan. Koreksi kesalahan hendaknya sesuai dengan tujuan latihan terkait. (Ekadewi 1993:24) Misalnya: pada saat siswa memberikan jawaban dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang saling terkait, sebaiknya guru tidak memotong untuk mengoreksi, karena hal ini akan mengacaukan konsentrasi siswa atas apa yang akan disampaikannya, sebaiknya kesalahan tidak dikomentari. Kesalahan adalah normal, tak seorangpun berniat untuk membuatnya. Suatu jawaban walaupun salah adalah hasil suatu usaha. Di samping itu kesalahan juga mempunyai arti diagnosis bagii guru, karena dengan menganalisa suatu kesalahan guru dapat menemukan letak kelemahan dalam penguasaan materi. Pujian, bantuan dan penghargaan atas usaha siswa biasanya mempertebal rasa percaya diri siswa dan meningkatkan saling percaya antara siswa dan guru. Sebaliknya kritik dari pihak guru yang berlebihan kadang – kadang lebih memungkinkan mendatangkan rasa kuatir dan takut untuk membuat kesalahan ketika pembelajar akan mengemukakan pendapatnya, sehingga kreativitas mereka terganggu. Sebaiknya kritik semacam ini dihindari oleh para pengajar.
Kelima, pengajar dan pembelajar sebaiknya berusaha menggunakan bahasa yang pelajari sebagai bahasa pengantar. Penggunaan yang diajarkan bertujuan agar siswa dapat merasakan bahwa keterbatasan kosa kata bukanlah hambatan untuk bekomunikasi, di samping itu agar siswa berlatih untuk berfikir dan berbicara dengan bahasa yang mereka pelajari, hal ini akan mempersiapkan mereka untuk dapat bereaksi wajar dalam situasi komunikasi yang riil.
Keenam, motivasi adalah salah satu faktor penunjang dalam belajar. Motivasi bahkan merupakan penentu untuk mencapai keberhasilan belajar. Oleh karena itu siswa perlu dimotivasi, baik terhadap mata pelajaran maupun terhadap materinya. J.S. Bruner seorang ahli psikologi pendidikan dan ahli psikologi belajar mengemukakan motivasi sebagai salah satu dari empat tema pendidikan di samping stuktur pengetahuan kesiapan (readiness) dan nilai intuisi dalam proses pendidikan.
Ketujuh, guru sebaiknya tidak meremehkan pengetahuan umum dan pengetahuan yang sudah dikuasi sebelumnya (vorkenntnisse). Seorang siswa akan senang untuk aktif berbicara jika ia merasa dapat menceritakan hal-hal yang sudah diketahuinya dalam percakapan di dalam kelas sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki. Bahkan pada situasi interaksi yang tidak terlalu formal terkadang seorang siswa lebih banyak aktif sehingga terjadilah komunikasi dalam arti yang sebenarnya antara siswa dengan siswa atau juga antara siswa dengan guru.
Untuk mulai dengan suatu tema baru, guru seharusnya tahu sampai sejauh mana siswa mempunyai pengetahuan di bidang itu. Pengetahuan awal siswa diakomodasikan dan diaktifkan kembali, karena akan sia-sia usaha guru menerangkan suatu tema baru, jika siswa tidak mempunyai pengetahuan dasar untuk menguasainya, sebaliknya siswa akan cepat merasa bosan jika tidak mendapat tambahan pengetahuan.
Kedelapan, Tujuan pembahasan suatu materi perlu diketahui oleh siswa. Untuk menigkatkan semangat belajar ada baiknya jika siswa mengetahui arti dan tujuan pembahasan suatu materi. Jika siswa mengetahui perlunya materi tersebut, tentunya rasa ingin tahu akan lebih besar. Karena adanya rasa ingin tahu itulah yang akan meninbulkan daya tarik yang kuat. Demikianlah siklus yang dikenal dalam psikologi belajar: daya tarik, motivasi, keberhasilan daya tarik.
Kesembilan, Sesekali guru perlu juga minta umpan balik (Rueck-meldungen) dari para siswa. Hal ini diperlukan sebagai bahan evaluasi atas pengajarannya yang sudah diberikan. Namun jangan sampai siswa merasa bahwa feedback itu tidak diperhatikan. Hendaknya kritik-kritik yang relevan dapat dijadikan acuan dalam mengadakan perubahan ke arah perbaikan. Sehingga pada akhirnya semakin timbul rasa saling percaya, saling membutuhkan, saling membantu yang tentunya akan menambah kesenangan belajar dan mengajar. Prasarat untuk mencapai keberhasilan belajar mengajar adalah keterbukaan antara pengajar sebagai sutradara dan pembelajar sebagai aktor.

Kesimpulan
Pada akhirnya keberhasilan pengajaran dan pengembangan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris di pesantren ditentukan oleh banyak faktor, mulai dari merubah persepsi, metode, ketersediaan sarana dan prasarana dan lain sebagainya. Akan tetapi factor yang paling menentukan sebenarnya adalah kemauan dari kalangan pesantren sendiri untuk terbuka menerima dan menyadari arti penting bahasa Inggris bagi pengembangan keilmuan.
Wallahu a’lam bis shawab.

Kajen, 15 April 2009

PENGUMUMAN

In Uncategorized on April 11, 2009 at 3:28 am

PENGUMUMAN

 

DISAMPAIKAN KEPADA SEMUA MAHASISWA STAIMAFA YANG MENGAMBIL MATA KULIAH “METODE PENULISAN KARYA ILMIAH” , TETAPI BELUM MEMILIKI BLOG DAN EMAIL, HARAP SEGERA MEMBUAT, SEBAB AKAN DIGUNAKAN SEBAGAI MEDIA PENUGASAN!!

TERIMAKASIH

Part 2

In Uncategorized on April 7, 2009 at 7:50 am

UNSUR-UNSUR DALAM PENULISAN KARYA ILMIAH

(2 PERTEMUAN)

 

1.       Kerangka Umum

2.       Bagian Pendahuluan

3.       Bagian Pokok/ isi

4.       Bagian Akhir

5.       Plagiasi dan batas-batas obyektifitas karya tulis ilmiah

 

 

TATA LOGIKA PROPOSAL PENELITIAN

(Gordon B. Davis dan Clyde A. Parker dalam, Writing the Doctoral Dissertation; A Systemacic Approach, 1979, p. 10)

 

 

1

Pendahuluan (summary)

1-2 hlm

2

Permasalahan akademik (Hypothesis, Problem or Question, Sense of Academic Crises)

1-3 hlm

3

Pentingnya Topik Penelitian (Importance Of Topic)

1-2 hlm

4

Hasil penelitian terdahulu (Prior Research on Topic)  

1-7 hlm

5

Pendekatan dan Metode (Theoritical Framework/ approach and research Methodology)

2-8 hlm

6

Pembatasan Masalah Dan Istilah Kunci (Limitation And Key Assumptions)

1-2 hlm

7

Kontribusi ilmiah (contribution to Knowledge)

1-3 hlm

8

Sistematika pembahasan (Description of Proposed Chapter in Thesis/ dissertation)

2-3 hlm

 


PENDAHULUAN (SUMMARY)

 

 

1.      Singkat dan padat

2.      Merangkum garis besar isi tulisan

3.      Berfungsi sebagai guide bagi pembaca dalam memahami isi tulisan

4.      Ditulis terakhir

 

 

 

PENTINGNYA TOPIK PENELITIAN

Definisi:

 

1.      Jangan terkesan memaksakan diri, tanpa argumen logis.

2.      Gunakan argumen-argumen logis dan ilmiah

 

 

 

 

PENELITIAN TERDAHULU/ STUDI PUSTAKA (PRIOR RESEARCH)

 

Definisi:

”Kajian singkat terhadap tulisan-tulisan terdahulu dalam satu tema atau yang berdekatan”.

 

Fungsi:

1.      Menjelaskan kedudukan tulisan di antara tulisan-tulisan lain dalam satu tema

2.      Mejelaskan perbedaan isi tulisan dengan dibanding tulisan lain yang serupa

3.      Mencari kerangka teori

 

Kesalahan-kesalahan:

1.      Hanya menyebutkan judul-judul tulisan tanpa penjelasan isinya.

2.      Tidak menjelaskan posisi dan letak perbedaan tulisan  yang dilakukan.

3.      Kehilangan konteks pembahasan.

 

 

METODE DAN PENDEKATAN (THEORITICHAL AND APPROACH OF RESEARCH)

 

Definisi:

Metode: Rule of the game, process and procedure of research

Pendekatan: way of think, logika penelitian

 

Ketentuan:

1.      Metode dan pendekatan dipilih dengan pertimbangan yang paling sesuai dan cocok bagi tulisan/ penelitian.

2.      Jangan hanya menjelaskan definisi pendekatan dan metode

3.      Pendekatan dan metode harus diterapkan dalam seluruh penelitian/ tulisan.

4.      Penulis memiliki kebebasan dalam menentukan pendekatan dan metode apa yang akan digunakan.


PEMBATASAN MASALAH DAN KATA KUNCI (LIMITATION AND KEY ASSUMPTION)

 

Definisi:

Batasan Masalah        : Penjelasan mengenai lingkup penelitian/ tulisan.

Istilah kunci                 : Penjelasan tentang istilah-istilah penting yang menjadi

  tema utama penelitian.

 

 

BATASAN MASALAH

Ketentuan:

1.      Batasan masalah dapat dilakukan berdasarkan; waktu, tempat, dan tema.

2.      Batasan masalah bertujuan untuk menjelaskan logika sejauhmana penelitian dapat dilakukan.

3.      Batasan masalah untuk menghindari pembahasan yang melebar/ menyimpang.

 

 

KATA KUNCI:

1.      Pilih istilah-istilah yang menjadi topik utama dalam tulisan/ penelitian.

2.      Jangan terlalu banyak istilah yang digunakan (dua atau tiga istilah)

3.      Jangan hanya sebatas penjelasan definitif tentang istilah, tetapi disertai penjelasan teoretis yang mendukung penelitian.

 

KONTRIBUSI ILMIAH (CONTRIBUTION TO KNOWLEDGE)

 

Definisi: Penjelasan tentang kontribusi ilmiah apa yang dapat diberikan oleh penelitian/ tulisan yang dikerjakan

 

Ketentuan:

1.      Hindari  penjelasan yang “sekedar basa-basi”

2.      Kontribusi ilmiah adalah harapan-harapan yang diperkirakan dapat diraih melalui tulisan/ penelitian.

3.      Kontribusi ilmiah harus berkaitan dengan kompetensi keilmuan penulis/ peneliti dan disiplin keilmuan lembaga/ institusi.

 

 

 

 

SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Definisi: Penjelasan tentang urutan logika pembahasan

 

Ketentuan:

1.      Sistematika pembahasan tidak identik dengan daftar isi

2.      Harus memuat penjelasan logis penempatan bab dan sub bab

3.      Tidak harus mengulang secara persis kalimat baku yang menjadi judul, babdan sub bab

4.      Hindari pengulangan redaksi antara Judul, bab dan sub bab.


Model-model Tata Urut Logika Penelitian

 

1. ATOMISTIK-LINEAR

1

2

3

4

8

7

6

5

 

 

 

 

 

 

 

 

 


2. ATOMISTIK MENYEBAR

 

1

2

3

4

8

7

6

5


3. SISTEMATIK-INTERCONECTED

 

8

1

2

3

4

7

6

5